Sejumlah pihak menyampaikan kepada penulis, bahwa sangat disayangkan, Quraish Shihab menerbitkan buku Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah tersebut. Di tengah-tengah maraknya gerakan jilbab dan gerakan anti-pornografi, penerbitan karya Quraish Shihab ini dipandang sebagai sesuatu yang kontra-produktif. Seperti ditulis sebelumnya, ada ibu aktivis pengajian, yang dulunya memakai jilbab secara baik dan rapi, namun setelah mendengar pendapat Quraish Shihab ini, akhirnya ia melepas jilbabnya. Ketika ditanya tentang sikap yang diambilnya, dia menjawab bahwa menurut Quraish Shihab, jilbab itu tidak wajib.
Sangat ironis memang. Hal-hal seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi. Makanya, sangat wajar jika para ulama, da’i dan aktivis-aktivis muslim menganggap bahwa buku Quraish Shihab ini lebih banyak mengandung mudharatnya daripada manfaatnya. Kritik pun berdatangan silih berganti, bahkan tidak sedikit yang datangnya dari teman dekatnya sendiri.
Hal ini sangat disadari oleh Quraish Shihab, sebagaimana ungkapannya sendiri dalam bukunya :“Penulis sadar bahwa tidak jarang penulis dikecam oleh sementara teman sendiri karena menghidangkan aneka pendapat keagamaan tanpa melakukan pen-tarjihan – , yakni menetapkan mana yang lebih kuat , sehingga – kata mereka – hal ini membingungkan masyarakat umum. ” Selanjutnya Quraish menulis : ” Penulis menghargai juga nasihat beberapa teman yang mengharap kiranya buku tentang persoalan jilbab itu jangan disebarluaskan, karena khawatir jangan sampai timbul kesalahpahaman dan tuduhan serta caci maki dari sementara kalangan. ”
Nasehat yang diungkapkan oleh teman-teman Quraish menurut hemat penulis sangatlah benar adanya. Karena dalam ajaran Islam, tidak semua ilmu atau informasi boleh disebarluaskan kepada masyarakat umum. Dalam keadaan tertentu, suatu ilmu atau sebuah informasi hanya boleh disampaikan pada orang-orang tertentu. Dalam hal ini Allah berfirman :
وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“ Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, lalu mereka menyiarkannya. (Padahal) kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentunya mereka (Rasul dan Ulil Amri tersebut) dapat menetapkan kesimpulan ( istinbat) dari berita tersebut ” (Qs An Nisa : 83 )
Pada ayat di atas, Allah menegur orang-orang yang menyebarluaskan semua informasi kepada masyarakat umum, sebelum diteliti kebenarannya, khususnya informasi-informasi yang bisa meresahkan masyarakat. Selanjutnya Allah SWT memberikan petunjuk kepada kaum muslimin bahwa informasi-informasi semacam itu sebaiknya dikembalikan kepada Rasulullah saw atau kepada para pemimpin dan para ulama, agar mereka mempelajarinya, kemudian memutuskan apakah informasi-informasi tersebut bisa disebarluaskan atau tidak. Ulil Amri dalam ayat di atas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Qurthubi yang dinukil dari Hasan Basri dan Qatadah : ” Ulil Amri disini adalah pakar ilmu dan fiqh ” [1]
Sangatlah indah apa yang ditulis oleh Syekh Nasir Sa’di dalam tafsirnya “ Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan ” :
” Ini merupakan teguran dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya bahwa perbuatan mereka ini tidaklah pantas. Jika ada urusan yang penting dan berhubungan dengan masalahat umum, serta terkait dengan keamanan dan kebahagian orang-orang beriman atau dengan ketakutan yang menimpa mereka, yang seharusnya mereka lakukan, adalah berhati-hati dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan informasi tersebut. Akan tetapi hendaknya diserahkan kepada Rasulullah saw, dan kepada para pemimpin di antara mereka yaitu para pemikir, para pakar ilmu dan penasehat, para cerdik pandai, dan orang-orang yang selalu berhati-hati, yaitu orang-orang yang mengetahui urusan-urusan tersebut dan mengetahui pula maslahat dan mudharatnya. Jika mereka melihat bahwa menyebarluaskan masalah tersebut akan membawa maslahat, semangat dan kebahagian bagi orang-orang yang beriman, serta bisa membentengi mereka dari musuh-musuhnya, maka mereka menyebarluaskannya. Dan jika mereka melihat bahwa di dalamnya ada kemudharatan atau terdapat suatu maslahat, akan tetapi mudharatnya lebih banyak dari maslahatnya, maka mereka tidak menyebarluaskannya. Oleh karena itu Allah berfirman(tentunya Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istinbath) dari berita tersebut) yakni mereka dapat menyimpulkannya dengan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat mereka yang tepat, serta dengan ilmu-ilmu mereka yang terarah. Dan ini merupakan dalil dari sebuah Kaedah Etika yaitu jika ada suatu masalah, hendaknya diselesaikan oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya, dan diamanatkan kepada mereka, dan mereka tidak boleh sama sekali dilangkahi, karena hal itu lebih mendekati kebenaran dan jauh dari terjerumus dalam kesalahan. ” [2]
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
كفي بالمرء إثما أن يحدث بكل ما سمع
“Cukup bagi seseorang dikatakan berdosa, kalau dia menyampaikan seluruh apa yang ia dengar “ (HR Muslim)
Hal ini dikuatkan oleh Imam Bukhari yang menyebutkan dalam buku ” Shahih ” –nya satu bab yang berjudul : ‘’Siapa yang mengkhususkan pengajaran suatu ilmu bagi kalangan tertentu, karena khawatir sebagian kalangan tidak bisa memahaminya’’. Kemudian beliau menukil perkataan Imam Ali r.a. : “Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui, apakah kalian senang jika Allah dan Rasul-Nya didustakan.[3] Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani dalam Kitab Fathu al-Barri menjelaskan masalah di atas :
‘Di dalam hadist tersebut terdapat pelajaran bahwa sesuatu yang masih samar ( Al Mutasyabih) tidak boleh diungkap di depan orang awam. Ini sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud : ‘’Tidaklah engkau berbicara dengan sebuah komunitas dengan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh akal mereka, kecuali akan membuat fitnah bagi sebagian mereka.’’
Kemudian beliau memberikan contoh bagaimana para ulama dahulu, seperti Khudzaifah dan Hasan Basri sangat mengingkari seseorang yang menyampaikan hadits Al ‘Arayinin [4] kepada Hajjaj Tsaqafi karena dijadikan dalil untuk menumpahkan darah kaum muslimin hanya karena karena masalah-masalah yang sepele. [5]
Kalau kita perhatikan buku Quraish Shihab ini, bisa kita katogorikan buku yang mutasyabih, karena isinya tidak jelas dan membingungkan umat, apalagi beliau sendiri mengaku belum bisa mengambil keputusan di dalam masalah jilbab. Kalau kebingungan bisa menyelimuti orang sekaliber Quraish Shihab, bagaimana orang awam yang menjadi murid-muridnya. Dan karena ketidakjelasan, maka sebagian kalangan menyimpulkan bahwa Quraish Shihab tidak mewajibkan jilbab, walaupun beliau sendiri tidak mau mengakuinya. Inilah salah satu fitnah yang dikhawatirkan oleh para ulama terdahulu, jika seseorang berbicara sesuatu yang tidak bisa dipahami secara baik oleh orang awam.
[1] Imam al- Qurtubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah ) 1993 M, juz V, hlm. 188
[2] Syekh Abdurrahman Ibn Nashir As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan, (Unaizah, Markaz Sholeh Al Tsaqafi ) Cet ke- II, 1992 M -1412 H, Juz II, hlm. 113-114
[3] Muhammad bin Ismail Bukhari, As Shahih , dicetak bersama Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1 , Juz I , hal. 272
[4] Al ’Arayinin adalah para penjahat yang merampok unta-unta sedekah dan membunuh petugasnya, kemudian Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk mengejar para pelakunya.
[5] Ibnu Hajar Al Atsaqalani , Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1, Juz I, hal. 272
No comments:
Post a Comment