Quraish Shihab menulis : ” Akan tetapi, harus pula diakui bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar di samping kenyataan menunjukkan bahwa banyak keluarga kalangan ulama yang terpandang yang wanita-wanitanya –baik anak maupun istri- tidak mengenakan jilbab. Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat Nahdhatul Ulama atau Aisyiah. Ini, lebih-lebih sekitar belasan tahun yang lalu. Tentu saja para ulama kedua organisasi Islam yang terbesar di Indonesia itu memiliki alasan dan pertimbangan-pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan itu-apalagi tanpa teguran dari para ulama – boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil. “. [1]
Pernyataan Quraish di atas mengandung beberapa kejanggalan, diantaranya adalah :
Pertama : Menjadikan perbuatan sekelompok orang, sebagai pembenaran atas suatu masalah . Sikap seperti ini kurang tepat, apalagi ditinjau dari displin ilmu ushul fiqh dan fiqh. Menurut para ulama [2], sumber hukum terbagi menjadi dua : pertama : sumber hukum yang disepakati, yaitu : Al Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan yang kedua : sumber-sumber yang masih diperdebatkan, yaitu : Qaul Shahabi ( perkataan para sahabat ), Istihsan, Saddu Adz-Dzarai’, Al Istish-hab, Mashalih Mursalah. Dengan demikian, diketahui bahwa perbuatan sekelompok orang, selain sahabat tidak dianggap sebagai salah satu sumber hukum. Dengan demikian dasar pijakan yang diambil oleh Quraish sangat rapuh sehingga sulit untuk diterima.
Kedua : Quraish memberikan contoh dari “ keluarga ulama yang terpandang “ , tetapi tidak memberikan penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud ulama terpandang tersebut, dan bagaimana kriterianya. Apakah ulama yang terpandang adalah ulama yang terkenal dan diberitakan oleh mass media atau ulama yang duduk dan menjadi pengurus dalam Majlis Ulama Indonesia, ataupun ulama yang menjadi pejabat di Departemen Agama, semuanya belum jelas. Kemudian harus dibedakan antara ulama dan keluarganya, karena para ulama itu mungkin mengetahui dan menyakini bahwa seorang wanita wajib menutupi seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan, dan mereka pun sudah menyuruh keluarganya- baik istri dan anak- akan tetapi keluarganya tidak mau mendengar perintah atau anjuran ulama tersebut. Sebagaimana yang kita dapatkan pada keluarga Nabi Nuh dan Nabi Luth, anak atau istri kedua nabi tersebut membangkang dan tidak mau mentaati perintah suami atau bapaknya yang merupakan nabi. Jadi, kalau kita mau menggunakan logika yang digunakan Quraish, tentu masalahnya akan menjadi fatal karena bisa saja seseorang tidak mau mentaati perintah Allah swt dengan dalih bahwa keluarga sebagian nabi juga tidak mentaati perintah Allah swt.
Ketiga : Quraish juga memberikan contoh dari “ Muslimat Nahdhatul Ulama, atau Aisyiah ” dengan alasan bahwa mereka dari organisasi besar. Menurut penulis, alasan ini juga rapuh dan tidak kuat sehingga sulit untuk diterima. Bagaimanapun juga, besarnya organisasi tidak ada hubungannya sama sekali dengan proses pengambilan hukum. Apalagi itu pada belasan tahun yang lalu, karena kemungkinan besar pengetahuan tentang wajibnya seorang perempuan menutup seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan belum sampai kepada mereka, karena buku-buku tentang itu juga belum banyak waktu itu di Indonesia. Sangat berbeda dengan sekarang, dimana informasi-informasi, baik lewat mass media maupun lewat buku-buku sangat mudah diakses oleh umat Islam Indonesia, sehingga sebagian Muslimat Nahdhatul Ulama dan Aisyiah-pun sudah mulai menggunakan jilbab yang menutupi seluruh badannya, kecuali telapak tangan dan wajahnya , sebagaimana yang merupakan pendapat mayoritas ulama. Bahkan, lebih dari itu, bisa kita dapatkan sekarang sebagian Muslimat Nahdhatul Ulama, Aisyah dan Persis telah memakai cadar yang menutup seluruh badannya kecuali kedua matanya.
Keempat : Selanjutnya Quraish menambahkan bahwa karena tidak adanya ulama yang menegur wanita-wanita yang tidak menggunakan jilbab, maka hal ini menjadi pembenaran perbuatan tersebut. Alasan yang dikemukan Quraish ini juga tidak tepat, paling tidak dari dua sisi :
1. Pertama : Tidak semua ulama, khususnya yang di Indonesia mau beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Banyak faktor yang membuat mereka berbuat demikian, diantaranya adalah faktor lingkungan dan adat istiadat masyarakat, atau faktor politik, atau kesibukan mereka mencari nafkah, atau bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka dalam masalah ini.
2. Kedua : Bisa dimungkinkan mereka sudah mengingatkan dan menegurnya, akan tetapi masyarakat tidak mengindahkan teguran tersebut, atau teguran dari ulama itu tidak disebarluaskan, sehingga mengesankan bahwa tidak ada satupun ulama yang menegur wanita-wanita yang tidak memakai jilbab.
|
No comments:
Post a Comment