Tuesday, May 8, 2012

Jilbab Kewajiban Muslimah ( XI. Harus dibedakan antara ‘Illat ( Alasan ) dan Hikmah )


Quraish Shihab menulis : « boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil. “. [1]

Ada beberapa kejanggalan dari tulisan Qurais Shihab di atas, sehingga perlu diluruskan dalam beberapa point berikut :
Pertama : Quraish Shihab menyatakan bahwa yang terpenting di dalam dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat. Kata-kata «  dalam bentuk terhormat «  adalah kata-kata yang tidak mempunyai kriteria dan batasan yang jelas. Bisa saja orang yang berpakaian bikini dalam suatu masyarakat dinilai pakaian yang wajar. Lihatlah sekarang, bukan saja di negara-negara Barat yang menganut paham kebebasan, di Indonesiapun yang rata-rata penduduknya beragama Islam, pakaian bikini yang mengumbar aurat sudah menjadi sebuah kewajaran, bahkan yang lebih ironis pakaian bikini tersebut menjadi syarat untuk mendapatkan pekerjaan dalam beberapa instansi dan lembaga.
Umpamanya untuk menjadi sekertaris pada sebuah perusahaan, seorang wanita harus berpakaian yang menampakkan paha, begitu juga pekerja wanita yang menjadi pelayan di mall-mall dan pusat-pusat perbelanjaan, pakaian seragamnya adalah rok pendek di atas lutut, yang menampakkan bagian dari pahanya. Dan ternyata banyak dari mereka yang merasa aman-aman saja, alias tidak diganggu oleh tangan-tangan usil. Tapi apakah itu yang dimaksud berpakaian dalam ajaran Islam ? Tentu jawabannya tidak. Jadi yang dinyatakan atau  disebut oleh Quraish Shihab dalam tulisan di atas tidak benar dan bisa menyesatkan pemahaman kaum muslimin tentang adab berpakaian dalam Islam .
Dari situ, kita mengetahui bahwa yang terpenting dalam berpakaian, atau alasan wanita diperintahkan untuk berpakaian adalah menutup aurat, bukan supaya berpenampilan yang wajar, dan bukan pula supaya tidak diganggu.

[1] . M . Quraish  Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah,  hlm : 166-167
 
Kedua : Para ulama ushul fiqh telah membahas masalah «  ‘illat « ( alasan ditetapkan sebuah hukum ) di dalam tulisan-tulisan mereka dengan pembahasan yang mendetail. Mereka memperlakukan syarat-syarat yang ketat untuk menyebut bahwa sesuatu hal bisa disebut «  illat «  . Mereka menyebutkan –paling tidak – lima syarat illat :
1.   Illat itu harus sesuatu yang jelas, bisa dilihat dengan panca indra, umpamanya  illat qishash pada dasarnya adalah  membunuh dengan sengaja. Hanya saja, faktor kesengajaan ini terdapat dalam hati, dan sulit dideteksi, maka para ulama mencari sesuatu yang jelas dan bisa dilihat oleh panca indra sehingga bisa dijadikan patokan dan ukuran bahwa orang tersebut membunuh dengan sengaja, umpamanya senjata tajam atau segala barang yang biasa untuk membunuh. Sehingga mereka mengatakan bahwa setiap orang yang membunuh dengan senjata tajam, atau senjata api atau dengan sesuatu yang biasa dipakai untuk membunuh, maka dikatagorikan bahwa orang tersebut telah membunuh dengan sengaja, walaupun dia mengingkarinya.
2. Illat itu harus mempunyai kriteria dan batasan-batasan yang yang jelas. Umpamanya illatdibolehkannya seseorang untuk menjamak shalat atau tidak berpuasa pada bulan Ramadhan pada dasarnya adalah « masyaqqah « ( kepenatan atau kecapaian ). Hanya saja karena «  masyaqqah «  tersebut tidak mempunyai kriteria dan batasannya yang jelas,   karena bisa saja seseorang  melakukan suatu perjalanan jauh, tetapi tidak merasa berat dan penat,  sementara bagi orang lain – walaupun dalam satu kendaraan sekalipun– merasa berat dan penat. Maka para ulama mencari sesuatu yang mempunyai kriteria dan batasan yang jelas, yaitu safar ( melakukan perjalanan ),  sehingga bisa dijadikan patokan dan ukuran bahwa orang tersebut dibolehkan menjamak atau tidak berpuasa pada bulan Ramadlan.
3. Illat itu harus sesuai dengan tujuan syari’ah, umpamanya perbuatan mencuri adalah illat (alasan) yang menyebabkan munculnya hukuman potong tangan, dan ini sesuai dengan tujuan syari’ah yaitu penjagaan terhadap harta benda.
4. Illat itu hendaknya bisa diterapkan kepada masalah-masalah lain, umpamanya memabukkan yang menyebabkan diharamkanya khamr, bisa diterapkan kepada seluruh minuman yang memabukkan selain khamr.
5. Illat itu hendaknya bukan suatu hal yang tidak bertentangan dengan syari’ah, umpamanya menyamakan jatah anak laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan, dengan alasan bahwa kedua-duanya adalah anak kandung. Illat seperti ini tidak bisa diterima, karena bertentangan dengan syari’ah, yang telah menentukan bahwa jatah perempuan adalah setengah dari jatah laki-laki .[1]
Yang perlu kita ketahui juga, bahwa ada perbedaan antara illat ( alasan ) dengan  hikmah. Dalam suatu kaidah disebutkan «   Al Hukmu Yaduru Ma’a Illatihi Wujudan Wa ‘Adaman « ( Hukum itu berputar bersama illatnya, jika dia ada, maka hukum ada, jika illat tersebut hilang, maka hukum tersebut jika hilang), jadi hukum akan selalu bersama illat-nya. Tetapi tidak demikian dengan hikmah. Kadang suatu hukum ada, tetapi hikmahnya tidak terwujud, umpamanya hukuman potong tangan terhadap pencuri, hikmahnya agar harta benda terjaga, atau agar pencuri tersebut jera. Kadang kita terapkan hukuman tersebut, tetapi karena suatu sebab, maka masih saja ada harta benda yang tidak terjaga dan ada juga pencuri yang tidak jera setelah dipotong tangannya.
Agar perbedaan illat dengan hikmah menjadi lebih jelas, kita berikan contoh dari kehidupan sehari-hari, yaitu illat (alasan) seorang pengemudi menghentikan kendaraanya di persimpangan jalan adalah adanya lampu merah, jika lampu hijau, maka pengemudi tersebut boleh menjalankan kendarannya lagi. Adapun hikmahnya adalah supaya tidak terjadi tabrakan atau kesemrawutan lalu lintas. Tetapi kadang hikmah tersebut tidak terwujud, seperti seorang pengemudi sudah berhenti ketika ada lampu merah, namun karena suatu hal, terjadi juga tabrakan atau kesemrawutan lalu lintas. Jadi hikmah suatu hukum kadang tidak terlihat dan tidak terwujud karena suatu hal.
Sekarang marilah kita lihat, apakah sebenarnya ‘illat ( alasan ) diwajibkannya wanita untuk memakai pakaian?  Kita katakan bahwa illat ( alasan ) diwajibkan berpakaian adalah menutup aurat, dan salah satu hikmahnya adalah  supaya tidak diganggu. Jadi siapa saja yang menutup auratnya sesuai dengan batasan yang telah ditentukan dalam Islam, berarti dia telah melaksanakan perintah Allah swt untuk memakai jilbab. Tetapi walaupun begitu, karena ada suatu sebab, kadang ada saja orang yang iseng dan mengganggu orang yang  memakai jilbab. Jadi hikmah suatu hukum kadang tidak terlihat dan tidak terwujud karena suatu. [2]

[1] Lihat lebih lengkapnya syarat-syarat illat dalam : Dr. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz Fi Ushul Fiqh, ( Beirut,Muassasah Risalah,1996 ) Cet ke – 5 ,  hal : 204- 207, Dr.Amir Abdul Aziz, Ushul Fiqh Al Islami, ( Kairo, Dar As Salam, 1997 ) cet ke -1 , Juz I , hal 366-374, Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, ( Dar Al Fikr Al Araby, 1958 ), hal 238- 241
[2] Syekh Albani juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa illat atau alasan diwajibkannya jilbab adalah supaya tidak diganggu. ( Lihat Muhammad Nasiruddin Albani, “Jilbab al Mar’ah al Muslimah fi al Kitab wa as Sunnah,”  (Beirut, Dar Ibnu Hazm- Amman, Maktabah Islamiyah, 1994 ) Cet Ke -2 , hal.93

No comments:

Post a Comment

Comments System

blogger/disqus/facebook