Tuesday, May 8, 2012

Jilbab Kewajiban Muslimah ( IX. Hubungan Budaya Setempat dengan Teks Al Qur’an Dan Hadist )


Di dalam masalah jilbab, Quraish Shihab cenderung untuk mendukung pendapat yang mengatakan bahwa batasan pakaian dalam Islam disesuaikan dengan kondisi dan adat istiadat masyarakat setempat. Jika pakaian tersebut layak dan pantas serta wajar menurut masyarakat tertentu, maka itulah pakaian yang diperintahkan oleh Islam untuk dipakainya. Banyak pernyataan-pernyataan Quraish Shihab yang menunjukkan hal tersebut. Di sini akan diberikan beberapa contoh darinya, walau sebagian besar sudah dikupas oleh penulis pada halaman-halaman berikutnya.
Contoh Pertama :
Quraish menulis : “Terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa ayat-ayat Al Qur’an lebih-lebih sabda, pengamalan dan pembenaran  Nabi Muhammad saw ( As- Sunnah ) kesemuanya turun dan terjadi dalam satu masyarakat yang memiliki budayanya.
Selanjutnya beliau menulis : Mereka juga hendaknya  memahami budaya masyarakat, sejarah nabi Muhammad saw, sebab-sebab turunnya satu ayat, atau tercetusnya ucapan dan sikap Nabi Muhammad saw .  Di sisi lain , perlu juga digaris bawahi bahwa pemahaman seseorang menyangkut satu nash ( teks ) – termasuk Al Qur’an dan Hadist – tidak dapat terlepas dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya masyarakatnya, di samping kecerdasan dan kecenderungan pribadinya. [1]

Dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tata cara pengambilan hukum dari Al Qur’an dan Hadist disebutkan bahwa pengambilan suatu hukum hanyalah tertumpu pada teks-teks yang ada dalam Al Qur’an dan Hadist yang tentunya menggunakan bahasa Arab, maka salah satu syarat mutlak untuk menjadi seorang mujtahid ( yang mampu mengistinbatkan suatu hukum ) adalah penguasaan bahasa Arab. Teks-teks yang ada dalam Al Qur’an dan Hadist itulah yang akan diolah oleh seorang mujtahid sehingga diperoleh suatu hukum. Tidak disebutkan di dalamnya keharusan memahami budaya masyarakat pada waktu itu sebagaimana yang dianjurkan oleh Quraish.

[1] . M . Quraish  Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah,  hlm : 51-52
 
Menggulirkan wacana keterkaitan wahyu dengan budaya masyarakat setempat tanpa memberikan keterangan yang lebih jelas dan batasan-batasannya akan berakibat fatal bagi perkembangan hukum Islam, khususnya jika wacana ini ditangkap oleh sebagian orang yang berpaham liberal dan berusaha melakukan perubahan-perubahan frontal dalam syari’ah Islam tanpa dibekali dengan alat-alat yang memadai. Seluruh ajaran Islam yang sudah baku akan hancur berantakan dengan dalih bahwa zaman sudah berubah, dan budaya masyarakat sekarang berbeda dengan masyarakat pada waktu diturunkan Al Qur’an. Maka konsekwensinya, masih menurut pandangan ini, shalat lima waktu, ibadah haji, kewajiban zakat , kewajiban jihad fi sabilillah dan lain-lainnya akan tidak berlaku pada zaman sekarang, karena zaman dan budaya masyarakat sudah berubah. Dan ujung-ujungnya juga bahwa kewajiban wanita muslimah untuk memakai jilbab-pun tidak berlaku lagi, karena itu adalah budaya masyarakat setempat dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Contoh Kedua :
Quraish Shihab menulis : “ Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan yang diambil dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Maret 1988 adalah : ” Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam , dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan. “[1]

Pernyataan Quraish Shihab di atas sudah penulis kupas pada tulisan-tulisan sebelumnya. Namun yang perlu dijelaskan di sini, bahwa Quraish Shihab- walau secara tidak terus terang- cenderung untuk mendukung pendapat yang telah diputuskan oleh Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah bahwa pakaian yang harus dipakai oleh seorang muslimah batasannya ditentukan masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan.
Jauh-jauh sebelumnya para ulama telah meletakkan batasan-batasan kapan sebuah adat istiadat dan budaya sebuah masyarakat bisa dijadikan sandaran di dalam menentukan sebuah hukum. Diantaranya adalah bahwa adat istiadat atau kebiasan tersebut tidak bertentangan dengan teks Al Qur’an dan Hadist.[2] Berkata Prof. Dr. Ahmad Fahmi Abu Sunnah :
« Syarat ketiga : Hendaknya adat istiadat tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. Maksudnya bahwa adat istiadat masyarakat tersebut harus sesuai dengan hukum-hukum yang bersandar pada dalil-dalil. Jika adat istiadat tersebut bertentangan dengannya, maka tidak boleh dipakai. Seperti kebiasaan masyarakat yang meminum khamr dan melakukan judi, wanita-wanita yang turut mengiring jenazah, menyalakan lilin di kuburan-kuburan, serta membuka sebagian aurat…dan banyak lagi hal-hal yang menyelisihi syari’ah. » [3]
Hal ini sejalan dengan sebuah kaidah yang diletakkan oleh para fuqaha bahwa :
كل ما ورد به الشرع مطلقا ، و لا ضابط له فيه ، و لا في اللغة ، يرجع فيه إلى العرف
«  Setiap yang disebut  di dalam Syari’ah secara mutlak, dan belum ada batasannya sama sekali, sekalipun dari sisi bahasa, maka ketentuannya dikembalikan kepada kebiasaan  « [4]
Dengan demikian, pernyataan bahwa pakaian yang harus dipakai oleh seorang muslimah, batasannya ditentukan masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan adalah pernyataan yang jauh dari kebenaran. Karena al Qur’an dan hadist telah memberikan batasan-batasan tertentu terhadap pakaian wanita.
Contoh Ketiga :
Quraish Shihab menulis : ‘ Namun persoalannya dalam hal aurat perempuan, apakah jika memang diakui ke-shahih-an kedua hadist yang dinisbahkan kepada istri Nabi Aisyah ra. di atas, maka ia dapat dipahami seperti pemahaman al ‘Asymawi,  yakni bahwa ia bersifat sementara dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat ? Atau bahwa itu adat masyarakat ketika itu, di mana masyarakat lain tidak terikat dengannya ? Sekali lagi, ulama dan cendekiawan berbeda pendapat.’[5] 

Pernyataan tersebut juga sudah penulis kupas pada halaman sebelumnya, hanyasanya yang perlu dijelaskan di sini bahwa Quraish Shihab telah menggiring kalau tidak mau dikatakan ‘memaksakan‘ penafsiran hadits di atas, bahwa kewajiban berjilbab itu hanya bersifat sementara, dan tergantung kepada kondisi dan perkembangan masyarakat setempat, atau hal itu hanyalah sebuah adat istiadat masyarakat Arab dan tidak ada kaitannya dengan wanita-wanita muslimah yang ada di Indonesia.
Contoh Keempat :
Quraish Shihab menulis : “ Persoalaan yang muncul lebih jauh adalah, apakah seorang wanita muslimah yang menampakkan selain wajah dan tangannya dapat dinilai telah melanggar tuntunan Allah itu ? Bukankah – seperti penulis kemukakan pada awal uraian- bahwa boleh jadi pemahaman para sahabat Nabi saw. tentang ayat-ayat Al Qur’an akan berbeda jika mereka hidup pada masa kita dewasa ini ?  [6]

Dalam pernyataan di atas, lagi-lagi Quraish Shihab mengatakan bahwa wanita-wanita  yang tidak berjilbab belum dapat dinilai bahwa mereka telah melanggar tuntunan Allah. Alasan yang diungkap oleh Quraish Shihab sangat tidak ilmiah, yaitu dengan mengatakan bahwa jika sahabat hidup pada zaman sekarang boleh jadi pemahamannya berbeda. Maksudnya mereka para sahabat jika hidup pada zaman sekarang, mungkin akan berpendapat juga bahwa jilbab itu tidak wajib. Kalau logika berpikir seperti ini diterapkan pada semua hukum Islam, tentunya akan kacau dan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh para fuqaha selama berabad-abad  lamanya akan rontok dengan sendiri ketika dihadapkan dengan logika yang dipakai oleh Quraish Shihab tersebut. Selain itu, logika tersebut akan memberikan kesempatan bagi orang-orang yang tidak senang dengan Islam untuk mengobrak-abrik bangunan Islam dari dalam. Maka, diharapkan kepada Quraish untuk lebih berhati-hati di dalam mengungkap argumen, khususnya ketika berbicara tentang suatu hukum dari hukum-hukum Islam.

[1] M . Quraish  Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah,  hlm : 166
[2] Untuk mengetahui masalah ini lebih lengkap bisa dirujuk umpamanya : Prof. Dr. Abdul Aziz Azzam, Al Qawa’id Al Fiqhiyah ( Kairo : Dar Al Hadist, 2005 ) hal : 174-176 , Pof Dr. Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al Urf wa al ‘Adah fi Ra’yi al Fuqaha ( Kairo, Dar al Bashoir, 2004 ) Cet ke- 1, hal. 105-122.
[3] Prof. Dr. Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al Urf wa al ‘Adah fi Ra’yi al Fuqaha (  Kairo, Dar al Bashoir, 2004 ) Cet ke- 1, hal. 113.
[4] As- Suyuti, al Asybah wa al Nadhair , ( Beirut, Dar Kutub Ilmiyah , 1983 ) Cet Ke – 1, hal 98
[5] M . Quraish  Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah,  hlm : 153
[6] M . Quraish  Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah,  hlm : 109

No comments:

Post a Comment

Comments System

blogger/disqus/facebook