Monday, May 14, 2012

Pandangan Para Ulama Terhadap Musyarakah Siyasiyyah (partisipasi politik: pemilu, parlemen, koalisi) Di bawah Pemerintah Non Islami

Pro kontra aktifis Islam ikut aktif dalam pemerintahan non Islam, dalam rangka mengawasi, mengawal, dan meluruskan, setiap potensi kecurangan, mudharat, yang akan pemerintahan tersebut hasilkan melalui undang-undang keputusan mereka, telah menyita perhatian para penggiat kebangkitan Islam.    Ada yang setuju dengan berbagai syarat, ada pula yang menolak sama sekali dengan alasan tidak boleh bergabung dengan system thaghut.

Lalu bagaimana pandangan syariah tentang ini? Bagaimana sikap para Imam Ahlus Sunnah? Berikut saya tuliskan artikel, sebagai sumbangsih pemikiran, yang semoga membawa sikap tawasuth (pertengahan), dengan pandangan jernih, brilian dan cerdas dari para imam tersebut.

Makna Musyarakah

            Musyarakah Siyasiyyah berarti keterlibatan gerakan dakwah dalam mengambil keputusan yang terkait dengan kemaslahatan umum di lembaga-lembaga politik formal maupun informal, di tingkat nasional atau daerah beserta seluruh aktifitas yang mengikutinya seperti pemilihan umum, koalisi, dan aktifitas politik lainnya. (Fatwa Mujamma’ Fuqaha Syariah di Amerika dalam Mu’tamar ke-4 di Kairo Mesir, 28 Juli-2 Agustus dengan sedikit perubahan redaksi)

            Partisipasi dalam pemerintahan merupakan tuntutan syumuliytud da’wah (universalitas da’wah) yang harus menyentuh semua aspek kehidupan. Partisipasi dalam pemerintahan (non islami) merupakan upaya mengimbangi, melawan, bahkan menghilangi mudharat dan potensi kezaliman yang ada pada pemerintahan tersebut. Dengan cara melawan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam, sekaligus upaya awal memperkenalkan syariat Islam dan memperbesar peluang pemberlakuannya. Selain memang itu adalah bagian dari tadribat (pelatihan) bagi aktifis Islam sebagai conditioning (persiapan) bagi mereka, jika –qaddarallah- mereka ditakdirkan menjadi pemimpin negaranya.

Pandangan Para Ulama

            Berkata Syaikh Abdurrahman as Sa’di Rahimahullah:

ومنها أن الله يدفع عن المؤمنين بأسباب كثيرة قد يعلمون بعضها وقد لا يعلمون شيئا منها وربما دفع عنهم بسبب قبيلتهم أو أهل وطنهم الكفار كما دفع الله عن شعيب رجم قومه بسبب رهطه وأن هذه الروابط التي يحصل بها الدفع عن الإسلام والمسلمين لا بأس بالسعي فيها بل ربما تعين ذلك لأن الإصلاح مطلوب على حسب القدرة والإمكان
فعلى هذا لو ساعد المسلمون الذين تحت ولاية الكفار وعملوا على جعل الولاية جمهورية يتمكن فيها الأفراد والشعوب من حقوقهم الدينية والدنيوية لكان أولى من استسلامهم لدولة تقضي على حقوقهم الدينية والدنيوية وتحرص على إبادتها وجعلهم عمَلَةً وخَدَمًا لهم
نعم إن أمكن أن تكون الدولة للمسلمين وهم الحكام فهو المتعين ولكن لعدم إمكان هذه المرتبة فالمرتبة التي فيها دفع ووقاية للدين والدنيا مقدمة والله أعلم


            “Dari ayat ini, Allah Ta’ala membela orang-orang beriman dengan sebab yang banyak, yang sebagiannya telah mereka ketahui atau sama sekali mereka tidak ketahui. Di antaranya Allah menolong mereka karena faktor kesamaan suku atau tanah air dengan mereka para kuffar sebagaimana yang dialami nabi Syu’aib. Allah Ta’ala menolongnya karena ikatan tersebut. Karena ikatan itu pula (yakni ikatan kesamaan suku dan tanah air) Allah Ta’ala akan menolong Islam dan kaum muslimin, ini tidak apa-apa dilakukan, bahkan hal itu bisa menjadi wajib karena melakukan Ishlah (perbaikan) adalah tuntutan yang harus dilakukan sejauh kemampuan dan kemungkinan.

            Oleh karena itu, upaya kaum muslimun yang hidup dibawah naungan wilayah kuffar, dan mereka bekerja untuk merubah keadaan menjadi negeri yang demokratis bagi individu dan masyarakat agar mereka bisa menikmati hak-hak agama dan dunia mereka, itu semua lebih utama dibanding menyerahkan semua urusan mereka kepada orang kafir, baik urusan agama, dunia, urusan pengaturan ibadah dan semua kebutuhan mereka. Benar, jika mungkin kaum musliminlah sebagai pengendali Negara dan pemerintahnya, tetapi jika tidak bisa, maka yang bisa kita lakukan harus kita lakukan dalam rangka melindungi agama dan dunia.” (Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Manan, Juz. 1, Hal. 388. Al Maktabah Asy Syamilah)

            Syaikh Nashir Sulaiman al ‘Umar (ulama Saudi Arabia) mengatakan system pemerintahan di dunia ini ada tiga saja: 1. Tatanan pepemrintahan Islam yang Adil. 2. Tatanan Pemerintahan Islam yang zhalim. 3. Tatanan pemerintahan dengan hukum kafir.

            Apa yang diterangkan Syaikh as Sa’di ini adalah jika kaum muslimin tinggal di negara yang jelas-jelas menggunakan hukum kafir dan wilayah kafir pula, di mana dia membolehkan bermusyarakah (berpartisipasi) dengan dalil dan renungan yang sangat brilian, Hal itu tentunya lebih-lebih  di negeri yang sudah muslim, yang hanya tinggal sistemnya yang masih non islami.

            Apa yang diuraikan Syaikh As Sa’di Rahimahullah ini juga didasari kaidah, Maa laa Yudraku kulluh laa yutraku kulluh (Apa-apa yang tidak bisa diraih semua, maka janganlah ditinggalkan semua).

            Asas utama dari partisipasi politik ini adalah dalam rangka tahshilul maslahah wa taqlilul mafasid (Menghasilkan maslahat dan mengurangi mafsadat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

            وَفِي أَنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِتَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا وَأَنَّهَا تُرَجِّحُ خَيْرَ الْخَيْرَيْنِ وَشَرَّ الشَّرَّيْنِ وَتَحْصِيلِ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا وَتَدْفَعُ أَعْظَمَ الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا

            “Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadat serta meminimalisirnya. Syariat juga menguatkan yang terbaik di antara dua kebaikan, dan memilih keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan. Serta menghasilkan mashlahat terbesar di antara dua maslahat dengan mengabaikan maslahat yang lebih ringan, dan syariat juga menolak mafsadat yang lebih besar di antara dua mafsadat, dengan memilih resiko yang lebih ringan di antara keduanya.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 4, Hal. 241. Al Maktabah Asy Syamilah)

             Lalu masih di halaman yang sama beliau berkata lagi:

وَمِنْ هَذَا الْبَابِ تَوَلِّي يُوسُفَ الصِّدِّيقَ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ لِمَلِكِ مِصْرَ بَلْ وَمَسْأَلَتُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ وَكَانَ هُوَ وَقَوْمُهُ كُفَّارًا كَمَا قَالَ تَعَالَى : { وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ } الْآيَةَ وَقَالَ تَعَالَى عَنْهُ : { يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ } { مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ } الْآيَةَ وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ مَعَ كُفْرِهِمْ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ لَهُمْ عَادَةٌ وَسُنَّةٌ فِي قَبْضِ الْأَمْوَالِ وَصَرْفِهَا عَلَى حَاشِيَةِ الْمَلِكِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَجُنْدِهِ وَرَعِيَّتِهِ وَلَا تَكُونُ تِلْكَ جَارِيَةً عَلَى سُنَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَعَدْلِهِمْ وَلَمْ يَكُنْ يُوسُفُ يُمْكِنُهُ أَنْ يَفْعَلَ كُلَّ مَا يُرِيدُ وَهُوَ مَا يَرَاهُ مِنْ دِينِ اللَّهِ فَإِنَّ الْقَوْمَ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُ لَكِنْ فَعَلَ الْمُمْكِنَ مِنْ الْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَنَالَ بِالسُّلْطَانِ مِنْ إكْرَامِ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ مَا لَمْ يَكُنْ يُمْكِنُ أَنْ يَنَالَهُ بِدُونِ ذَلِكَ وَهَذَا كُلُّهُ دَاخِلٌ فِي قَوْلِهِ : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } .

          “Dari sisi inilah, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam menjadi bendahara negeri Mesir, bahkan beliau memintanya kepada Raja agar beliau dijadikan bendahara negeri, padahal saat itu sang Raja dan kaumnya adalah kafir, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
         
“Dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, ..”  (QS. Al Mu’min (40): 34)

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kamu sembah  selain Allah tiada lain kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya ..” (QS. Yusuf (12): 39-40)

Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, maka itu mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam mengambil dan menyalurkan harta kepada Raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya. Tentu cara itu tidak sesuai dengan kebiasaan para nabi dan utusan Allah. Namun bagi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah karena rakyat tidak menghendaki hal itu. Akan tetapi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tetap melakukan apa-apa yang bisa dilakukannya, berupa keadilan dan perbuatan baik. Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang beriman diantara keluarganya, suatu hal yang tidak mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Betaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun (64): 16) …” (Ibid)

Demikianlah pandangan cerdas Imam Ibnu Taimiyah, dengan dalil yang lugas dan kaidah yang  jelas, beliau merekomendasikanmusyarakah dengan pemerintahan yang jelas-jelas rajanya adalah kafir yang menggunakan undang-undang kafir pula di mana mereka punya sistem sendiri yang tidak mungkin dihindari Nabi Yusuf  ‘Alaihissalam, lalu dengan musyarakah itu dengan tujuan menghasilkan maslahat dan mencegah mudharat.

Sementara itu Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam juga berkata:

وَلَوْ اسْتَوْلَى الْكُفَّارُ عَلَى إقْلِيمٍ عَظِيمٍ فَوَلَّوْا الْقَضَاءَ لِمَنْ يَقُومُ بِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ ، فَاَلَّذِي يَظْهَرُ إنْفَاذُ ذَلِكَ كُلِّهِ جَلْبًا لِلْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ وَدَفْعًا لِلْمَفَاسِدِ الشَّامِلَةِ ، إذْ يَبْعُدُ عَنْ رَحْمَةِ الشَّرْعِ وَرِعَايَتِهِ لِمَصَالِحِ عِبَادِهِ  
“Seandainya orang-orang kafir memimpin suatu daerah yang luas, lalu mereka (orang-orang) kafir menyerahkan kekuasaan kepada orang yang bisa menunaikan maslahat secara umum bagi kaum muslimin, maka hal itu bisa dilaksanakan karena nampak jelas bisa mendatangkan maslahat umum dan menolak kerusakan secara sempurna, walaupun jauh dari rahmat syariat dan pemeliharaannya terhadap maslahat hambaNya…(Qawa’id al Ahkam fii Mashalih al Anam, Juz. 1, Hal. 128. Al Maktabah Asy Syamilah)

Syaikh Nashir Sulaiman al Umar berkata dalam salah satu fatwanya tentang berpartisipasi dalam pemerintahan yang non islami, yang berjudul Dhawabith al Musyarakah fil Majalis an Niyabiyah (Patokan Berpartisipasi Dalam Majelis Perwakilan):

علماً أن الأصل في المشاركة هو الجواز، والمنع طارئ لأسباب وقرائن تحفّ بالأمر عند تطبيق القواعد المشار إليها آنفاً.
وما يستأنس به في هذا الباب هو مشروعية الجهاد مع كل بر وفاجر ، مادام القتال شرعياً.
علماً بأن الجهاد مع الفاجر لا يخلو من مفاسد معتبرة، لكنها تتضاءل عند مصلحة إقامة الجهاد، وترك الجهاد مع الفاجر أعظم مفسدة من المفاسد المترتبة على المشاركة فيه معه.
“Ketahuilah, bahwa hukum asal dari musyarakah adalah jawwaz (boleh), Hal yang mendasarinya adalah disyariatkannya berjihad bersama imam  baik dan yang fajir (jahat), selama berperang untuk hal-hal yang syar’i.

Ketahuilah, berjihad bersama pemimpin yang fajir tidak akan lepas dari kerusakan yang jelas ada, Namun kerusakan ini menjadi kecil nilainya dihadapan besarnya kemaslahatan jihad, dan meninggalkan jihad bersama imam yang fajir akan membawa kerusakan yang lebih besar dibanding kerusakan jika ikut berjihad bersamanya.” (http://islamtoday.net/islamion/f05.html)

Musyarakah dengan pemerintah non islami bukanlah obsesi atau cita-cita aktifis Islam. Namun, sering hal itu harus dilakukan karena melihat adanya peluang memperkecil mudharat dan mengambil mashlahat sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ini. Jika niatnya memang demikian, dan mereka tinggal di negeri yang tidak ideal tersebut, maka musyarakah adalah al Khiyar al Ashwab (pilihan yang benar) sekaligus al Khiyar al Ash’ab (pilihan yang sulit), sebab banyak sekali fitnah, tantangan, dan resiko yang akan mereka hadapi. Namun, tak ada perjuangan tanpa fitnah, tantangan dan resiko.

Terkadang kita melihat ada individu yang terseok-seok dalam menjalankan musyarakah, dia tidak mampu menghadapi ‘dunia baru’ yang sebelumnya justru dia jauhi yakni pemerintahan thaghut. Namun akhirnya dia tenggelam dalam kesalahan baik yang prinsip atau partikular, baik kesalahan moralitas atau pemikiran. Kasus-kasus yang sifatnya perorangan ini tidak bisa dijadikan alasan melarangmusyarakah atau menarik diri dari musyarakah yang lebih bermaslahat umum, sebab jika ternyata secara global dan lebih luas justru lebih mendatangkan maslahat yang langsung dirasakan masyarakat, maka tidak cukup alasan untuk menghentikan musyarakah. Sebab kasus tersebut adalah akibat kelemahan individu itu sendiri.

Berkata Syaikh Ahmad ar Raisuni –ulama Maroko- dalam tulisannya yang berjudul Limadza Nusyariku al Intikhabat (Kenapa Kami Ikut Pemilu?):

والحقيقة أن هذا وذاك واقع قديما وحديثا، ولكن هذا بكل تأكيد ليس حجة علينا ،بل هو حجة على الذين عجزوا، حجة عليهم وعلى أمثالهم من الذين انحرفوا انحرافهم ،وسقوطهم حجة عليهم وعلى أمثالهم، ولكن لا يقتضي هذا بالضرورة أن يبقى في الأمة إلا فاشل عاجز أو قابل للانحراف والساقط عند أول ابتلاء، الأمة أعظم من هذا ،الأمة كنز، والأمة منجم لغير هذا، فلذلك لا ينبغي أن يكون أهل الصلاح والدين: لابد أحد صنفين، إما ناس لا يحسنون إلا الفشل والعجز، وإما ناس سرعان ما يزلون ويفتنون ويسقطون، فلذلك نحن نرى أن الأمة لابد فيها صنف آخر، ونحن نرجو ونسعى ونتعاون لنكون من هذا الصنف

“Sebenarnya adanya tantangan dan kesulitan adalah realita saat ini dan masa lalu. Itu semua bukan alasan bagi kita, itu ada alasan bagi orang-orang yang lemah dan semisal mereka yang telah melakukan penyimpangan. Penyimpangan personal yang mereka lakukan merupakan bukti kelemahan pribadi yang bersangkutan, dan itu bukan berarti tidak ada lagi dari umat ini yang berhasil dalammusyarakah. Orang yang baik tidak hanya berfikir dua kemungkinan dalam musyarakah: gagal lalu keluar atau larut dalam penyimpangan. Di dalam umat dan jamaah ini pasti ada tambang berharga yang mampu berhasil dalam musyarakah. Kita saling tolong menolong dalam barisan  yang solid dan kokoh dalam rangka terus mewujudkan keberhasilan musyarakah ini.”
( http://www.raissouni.org/Docs/155200710648AM.doc)

Demikian pandangan para ulama klasik dan modern tentang berpartisipasi dalam pemerintahan non Islami.


Musyarakah Hanyalah Tahapan Bukan Tujuan

Ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi disorientasi dalam musyarakah. Para aktifis terjebak pada euphoria musyarakah, ternyata mereka melupakan tujuan asasi dan target besar mereka, li I’la kalimatillah. Seharusnya hanya tahapan justru jadi tujuan dan berlama-lama di sana , sementara tujuannya dilupakan.

Sunatullah dalam hidup ini adalah sabar dalam berjuang, dan sabar dalam melalui tahapan dakwah adalah tuntutan yang tidak bisa ditawar sebab Allah Ta’ala telah menetapkan sunatullahNya atas seluruh makhluk yaitu sunah tadarruj (sunah pentahapan).

Segala sesuatu berangkat dari yang kecil lalu membesar, lemah menjadi kuat, sedikit menjadi banyak. Kita bisa melihat sunnah ini dalam tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Tumbuhan tidak langsung berbuah, burung tidak langsung bisa terbang, manusia tidak langsung baligh. Sebelum itu, mereka semua melalui tahapan-tahapan yang telah ditetapkanNya.

Dalam mengarungi kehidupan juga demikian, baik itu pendidikan karir pekerjaan, dan lainnya. Walau kita sangat berambisi untuk mendapat yang lebih, namun kita tidak bisa melampaui sunah ini, bertahap. Sama halnya dengan penerapan system dan hukum Islam di negeri ini, atau penghapusan syirik dan bid’ah, semua ada pasang surut dan tantangannya, yang akhirnya kita menyadari bahwa memang betapa pentingnya tahapan dalam dakwah dan tahapan dalam merubah system yang ada. Itulah yang dicontohkan oleh RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dilanjutkan oleh para sahabat.  Ada pun terburu-buru dan orang yang terburu-buru, cepat atau lambat, akan menyadari  bahwa mereka keliru.

Lihatlah Islam … Al Quran diturunkan di dunia secara bertahap sesuai peristiwanya. Syariat diterapkan Allah Ta’ala juga bertahap, pengharaman Khamr (minuman keras) melalui tiga tahapan, pertama, ayat jangan dekati shalat dalam keadaan mabuk, kedua, ayat tentang khamr itu ada manfaat tetapi mudharatnya lebih besar, ketiga, ayat bahwa khamr adalah perbuatan syetan dan jauhilah. Masih banyak lagi contohnya.

Tidak Selamanya Boleh

            Musyarakah bukanlah pilihan ideal, dia benar dalam konsidi tertentu, namun belum tentu benar dalam kondisi lain. Oleh karena itu aktifis Islam harus memperhatikan syarat-syarat ini, jika tidak terpenuhi, maka musyarakah adalah perbuatan terlarang.

  1. Tujuan memang karena ingin menghambat kerusakan dan seluruh pintunya, serta meraih maslahat umum dan menyempurnakannya.
  2. Tidak ada niat memperkaya diri dan mencari ketenaran dan segala godaan dunia lainnya.
  3. Partisipasi ini harus dilakukan secara nyata, bukan diperalat oleh kekuasaan yang ada sehingga mengebiri potensi dan kekuatan para aktifis itu sendiri.
  4. Partisipasi ini tidak boleh justru memperlama keberadaan system dan penguasa non islami tersebut, apalagi memperkuatnya, para aktifis harus bisa mendakwahinya, merubahnya dan mengajak mereka ke jalan Allah Ta’ala, bukan justru mendukung dan bersekutu dengan ideologi sesat mereka.

Nah untuk mengawal dan mengawasi syarat-syarat ini dengan baik, maka harus dilakukan evaluasi, kalau perlu dibuat secara periodik, agar mereka bisa mengetahui, apakah partisipasi mereka selama ini membawa maslahat atau tidak?

Apakah mereka menjadi alat saja, atau sebaliknya  menjadi aktor utama yang bisa menentukan arah angin kebijakan negara?

Apakah agenda-agenda syariah sudah dilakukan sesuai target dan harapan? Atau justru semakin tidak jelas, apakah warna Islam sudah pada system negera ini, walau sedikit saja?

Ini harus senantiasa dievaluasi dan koreksi, agar bisa mengetahui pula keputusan selanjutnya apa? Apakah musyakah bisa dilanjutkan atau menjadi out sider?

Sesungguhnya berpartisipasi atau tidak adalah pilihan yang sama-sama punya resiko, dan tantangan masing-masing. Ada pun legitimasi syariah bagi kedua pilihan itu juga ada dalam Al Quran, As sunah, dan realita sejarah umat ini. Maka, untuk negara ini pilihan manakah yang bisa kita ambil?

Wallahu A’lam

Referensi:

- Taujihat Pekanan Kader PKS
Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, karya Imam Izzudin bin Abdissalam
- Tafsir Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Manan , karya Syaikh As Sa'di
Majmu' Fatawa, karya Imam Ibnu Taimiyah

No comments:

Post a Comment

Comments System

blogger/disqus/facebook