Tuesday, May 8, 2012

Jilbab Kewajiban Muslimah ( VII. Larangan untuk Mengikuti Pendapat Ulama yang Nyleneh )


Pada bagian akhir tulisannya, yaitu ketika menulis tentang pandangan kontemporer,  Quraish Shihab memulainya dengan menceritakan sepak terjang Qasim Amin ( 1803-1908 ), salah satu cendekiawan Mesir yang baru pulang dari Perancis dan merupakan tokoh pelopor pembebasan wanita. Dalam bukunya yang sangat kontroversial  Tahrir Al Mar’ah( Pembebasan Perempuan ), ia mengajak perempuan Mesir untuk menanggalkan jilbab yang   selama ini mereka yakini sebagai kewajiban agama. Qasim Amin menegaskan dalam bukunya tersebut bahwa tidak ada satupun ketetapan agama ( nash dari syari’at ) yang mewajibkan pakaian khusus ( hijab atau jilbab ) sebagaimana yang dikenal selama ini dalam masyarakat Islam. Qasim Amin juga berpendapat bahwa Al Qur’an membolehkan perempuan menampakkan sebagian dari tubuhnya di hadapan orang-orang yang bukan muhramnya. Tetapi Al Qur’an – masih menurut Qasim Amin – tidak menentukan bagian-bagian mana dari anggota tubuh yang boleh terbuka.
Setelah menukil pendapat Qasim Amin, Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa Syekh Muhammad Abduh ( 1849- 1905 ) yang pernah menjabat menjadi mufti Mesir ternyata secara diam-diam mendukung apa yang dinyatakan oleh Qasim Amin tentang aurat wanita. Kemudian cerita itu ditutup oleh Quraish Shihab dengan pernyataan sebagai berikut : ” …Yang penulis maksud, tidak lain hanyalah ingin membuktikan bahwa ada juga ulama-ulama yang diakui otoritasnya yang menganut atau bahkan mencetuskan pendapat-pendapat  yang berbeda dengan ulama-ulama terdahulu
Terlepas dari siapa pencetus ide tentang pakaian wanita, yang sedikit dan banyak berbeda dengan pendapat ulama terdahulu, namun yang jelas bahwa para pencetus  dan pendukung ide serta pendapat-pendapat ulama terdahulu, memiliki juga dalil atau dalih yang menjadi dasar pendapat mereka “ [1]


[1] . M . Quraish  Shihab, Jilbab pakaian wanita muslimah, hlm : 117
 
Selanjutnya Quraish menulis : ” Praktek nabi –walau hanya sekali- yang dijadikan dasar antara lain oleh Syekh Muhammad Abduh itu , hampir tidak pernah dikemukakan. Boleh jadi karena tidak terbaca oleh mereka yang baru mengetahui kulit agama, atau karena khawatir bila kemudahan ini disampaikan, maka akan melahirkan sikap mempergambang agama. «[1]  
Dari tulisan Quraish di atas, sangat nampak bahwa beliau memang banyak terpengaruh dengan pikiran-pikiran Muhammad Abduh, bukan hanya pada masalah pakaian perempuan saja, tetapi juga dalam masalah-masalah lain, seperti fikih sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya ketika beliau memberikan contoh tentang kemudahan ajaran Islam dengan perbuatan Muhammad Abduh yang menjamak antara dua sholat tanpa ada udzur yang jelas. Begitu juga, beliau terpengaruh dengan Muhammad Abduh dalam bidang tafsir. Salah satu buktinya, bahwa beliau menulis tentang tafsir Muhammad Abduh yang berjudul «  Rasionalitas Al Qur’an, Studi Kritis atas tafsir Al Manar «[2] Walaupun di dalam buku tersebut beliau mengkritisi beberapa pendapat Muhammad Abduh, tetapi tidak sedikit pula dari pendapatnya yang diambil oleh Qurasih Shihab. Maka, tidak aneh jika Quraish menjuluki Muhammad Abduh dengan : «   ulama-ulama yang diakui otoritasnya » ” [3] dan »  mengetahui inti agama, bukan hanya kulit agama saja. « ” [4]. Bahkan ketika Muhammad Abduh jelas-jelas mendukung  pendapat Qasim Amin yang menyatakan bahwa  tidak ada satupun ketetapan agama ( nash dari syari’at ) yang mewajibkan pakaian khusus ( hijab atau jilbab ), beliau tidak  membantahnya, kecuali hanya mengatakan bahwa Muhammad Abduh, walaupun menyelesihi ulama-ulama terdahulu, namun tetap «  memiliki juga dalil atau dalih yang menjadi dasar pendapat mereka. «.
Dari keterangan di atas, kita juga mengetahui bahwa pelopor « pembebasan wanita « untuk menanggalkan jilbab adalah Qasim Amin yang telah di didik oleh para Orientalis Barat di Perancis. Qasim Amin inilah yang paling bertanggung jawab  sehingga masyarakat Islam Mesir sekarang, banyak yang meninggalkan jilbab mereka dan berpakaian ketat, bahkan bikini, khususnya para pemudi dan mahasiswinya. Belum lagi mass media  baik cetak dan elektronik yang secara terus- menerus mengkampayekan pembebasan wanita, bahkan tidak jarang mereka menyerang para pemakai jilbab dan cadar. Yang disayangkan adalah ketika ajakan untuk membatalkan jilbab tersebut  didukung oleh murid dan sahabatnya yang juga  pernah tinggal di Perancis beberapa saat lamanya, yaitu Muhammad Abduh. Ketika Quraish Shihab belajar di Mesir dan sempat tinggal di sana cukup lama, tak heran jika ikut terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, salah satunya dalam masalah jilbab, kemudian ketika pulang ke Indonesia, beliau mengusung dan menyebarkan  pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh lewat tulisan-tulisannya, salah satunya adalah buku tentang Jilbab yang sedang kita bahas ini.
Nampaknya, kalau kita perhatikan ada beberapa kesamaan antara Muhammad Abduh dengan Quraish Shihab ketika menyikapi masalah pakaian wanita dan jilbab ini. Muhammad Abduh, menolak untuk memberikan fatwanya menyangkut jilbab dan batasan aurat wanita, padahal waktu itu ia menjabat sebagai mufti Mesir,  dan didesak untuk menyampaikan fatwanya. Penolakan itu – menurut pengakuan Quraish Shihab sendiri – boleh jadi karena beliau merasa bahwa pada masa itu masyarakat muslim belum siap menerima pandangan tersebut, sehingga bila fatwanya disampaikan, maka dapat menimbulkan gejolak yang lebih besar dan mempengaruhi kedudukan beliau yang dikagumi oleh banyak kalangan. Syekh Muhammad Abduh ketika itu agaknya merasa cukup mendukung secara diam-diam pandangan Qasim Amin itu.
Ternyata, hal yang sama dilakukan oleh Qurais Shihab sendiri ketika beliau pulang ke Indonesia dan menduduki jabatan-jabatan penting seperti Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Mentri Agama, dan Duta Besar untuk Indonesia di Kairo. Selama tugasnya tersebut, beliau tidak pernah mau berterus terang ketika ditanya tentang pakaian wanita dan jilbab. Bahkan menurut pengakuan beliau sendiri,- dalam salah satu seminar di Surabaya, beliau  pernah “ setengah dipaksa“ untuk menyatakan pendapat final [5] dalam masalah jilbab, tetapi tetap saja tidak memberikan jawaban yang jelas dan tegas. Maka, penulis katakan -  sebagaimana Quraish Shihab mengatakan kepada Syekh Muhammad Abduh – boleh jadi   karena beliau (Quraish Shihab) merasa bahwa pada saat ini masyarakat muslim Indonesia belum siap menerima pandangan bahwa jilbab itu tidak wajib, sehingga bila fatwanya disampaikan, maka dapat menimbulkan gejolak yang lebih besar dan mempengaruhi kedudukan beliau yang dikagumi oleh banyak kalangan. Sehingga beliau cenderung untuk tidak bersikap alias «  tawaquf «, karena itu barangkali lebih selamat.

Selama ini, umat Islam tidak banyak mengetahui Syekh Muhammad Abduh kecuali sekilas saja. Sebagian kalangan yang berkonsentrasi dalam Pemikiran Islam menyebutkan bahwa Syekh Muhammad Abduh adalah pelopor  Al Madrasah Al Aqliyah, yaitu sebuah arus pemikiran yang berusaha untuk menggabungkan antara teks-teks Syari’at dengan peradaban dan pemikiran modern Barat, dengan cara menyesuaikan penafsiran teks-teks Syari’at tersebut dengan pemahaman Barat yang sudah baku. [6] Diantara ciri-ciri arus pemikiran ini adalah sebagai berikut :
1/ Menolak Sunnah, baik secara parsial maupun menyeluruh, dengan ta’wil yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, seperti menolak hadist-hadist ahad yang tidak sesuai dengan keumuman Al Qur’an atau tidak sesuai dengan akal sehat. Seperti penolakan terhadap hadist yang menerangkan bahwa salah satu sayap lalat ada obat penawar dari racun yang ada di sayap lainnya, juga penolakan terhadap hadist yang menunjukkan turunnya Isa bin Maryam dan munculnya Imam Mahdi di akhir zaman dan lain-lainnya.
2/ Terlalu bebas di dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dengan menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan, seperti mentakwilkan malaikat, jin, sihir, syetan, kisah Adam as, burung Ababil dan lain-lainnya yang terdapat di dalam Al Qur’an.
3/ Meremehkan Ijma’ ulama.
4/ Terlalu berlebih-lebihan di dalam mempraktekan ijtihad, walaupun syarat-syaratnya belum terpenuhi.
5/ Sangat membatasi masalah –masalah ghoib sebisa mungkin karena pengaruh paham materialis Barat.
Prof Dr. Sa’dudin Sholeh menyebutkan keterlibatan Muhammad Abduh dalam gerakan Freemansoni. Beliau menulis :
«  Diantara yang terkecoh dengan slogan :  persaudaraan, persamaan, perdamaian, serta kebebasan adalah Jamaludin Al Afghani. Dokumen-dokumen menunjukkan bahwa dia terlibat dalam gerakan Freemansoni, bahkan dalam  keanggotannya, ia menjabat ketua kelompok yang disebut ( Bintang Timur ) …Begitu juga Muhammad Abduh ikut terlibat di dalam gerakan Freemansori ini. Kita tidak tahu apakah beliau ( Muhammad Abduh ) mengetahui hakekat gerakan tersebut, atau hanya tertipu dengan slogan-slogannya yang indah. Tetapi ketika dia mendirikan Lembaga Penyatuan Agama-agama, dan kemudian aktif di dalamny,a membuat kita bertambah ragu, karena Penyatuan Agama-agama adalah salah satu tujuan dari gerakan Freemansoni Internasional. Dan kita tidak bisa mengatakan bahwa seorang yang mempunyai kecerdasaan dan keilmuaan setingkat Muhammad Abduh sampai tidak tahu tentang hakekat gerakan Freemasoni, kecuali kalau memang dia adalah orang yang lugu dan nylene h. Buktinya dia tidak tahu hakekat gerakan aliran sesat ( Al Bahaiyah ) « [7]
Banyak para ulama yang melarang seseorang mencari-cari pendapat yang nyeleneh, walaupun kadang hal itu berasal dari sebagian ulama. Dalam hal ini seorang ulama menulis :
َنَّهُ لَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ يُسْتَرْوَحُ إلَيْهِ وَيُعْتَمَدُ عَلَيْهِ . وَمَنْ يَتَتَبَّعُ مَا اخْتَلَفَ فِيهِ الْعُلَمَاءُ أَوْ أَخَذَ بِالرُّخَصِ مِنْ أَقَاوِيلِهِمْ تَزَنْدَقَ أَوْ كَادَ .
“ Bahwasanya tidak setiap perbedaan pendapat itu bisa diambil dan dijadikan sandaran. Dan barang siapa yang mencari-cari apa yang diperselisihkan oleh para ulama atau mengambil  keringanan-keringanan saja dari pendapat mereka, maka dia akan menjadi zindiq atau mendekati zindiq “ [8]
Memang harus diakui bahwa di dalam banyak masalah agama, para ulama berselisih pendapat di dalamnya. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk berbicara tentang agama, kecuali yang memang mempunyai kemampuan dan memenuhi syarat-syaratnya. Dan ini bukan berarti juga, bahwa setiap orang bebas memilih mana saja dari perbedaan para ulama tersebut tanpa dibarengi dengan sifat wara’ dan kehati-hatian serta rasa takut kepada Allah swt. Selain itu, di dalam memilih salah satu dari pendapat-pendapat para ulama itu, juga harus diperhatikan dampak positif dan negatifnya terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Jika ada salah satu atau sebagian ulama berpendapat suatu hal yang bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist serta adab-adab Islam secara umum, maka tentunya pendapat itu tidak bisa kita terima, seperti pendapat yang membolehkan seorang laki-laki untuk melihat seluruh tubuh wanita yang hendak dinikahinya[9] dengan menggunakan dalil salah satu hadist :
“ Jika salah satu dari kalian ingin menikahi seorang wanita, hendaklah dia melihatnya yang menyebabkan dia bisa menikahinya “[10]
Tentunya pendapat ini tidak bisa kita terima sama sekali, walaupun dilontarkan oleh seorang ulama dan berdasarkan dhohir dari hadist Rosulullah saw, karena pendapat ini bertentangan dengan Ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist lainnya yang menyatakan keharusan untuk menundukkan pandangan dan menutup aurat kecuali kepada orang-orang tertentu, seperti suami atau istrinya. [11]
Seperti juga pendapat yang membolehkan seorang wanita menjadi Imam bagi kaum laki-laki dalam sholat. Menurut sebagian kalangan pendapat ini diriwayatkan dari beberapa ulama, seperti Abu Tsaur, Muzani, Thabari.[12] Akan tetapi benarkah kenyataannya seperti itu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus meneliti kebenaran riwayat tersebut. Dan ternyata kita tidak mendapatkan sanad bersambung sampai kepada ulama tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa riwayat itu belum tentu benar adanya. Taruhlah riwayat itu benar, akan tetapi apakah riwayat tersebut menyatakan seperti apa yang dinyatakan oleh kelompok yang mengusungnya bahwa seorang wanita boleh menjadi imam bagi laki-laki di masjid umum, bahkan pada sholat jum’ah ? tentunya ini juga perlu penelitian juga. Dan hadist yang dijadikan sandaran oleh ulama tersebut seandainya riwayatnya shohih, hanya menunjukkan bahwa seorang wanita menjadi imam bagi anggota keluarganya. Jadi dari mana mereka menyatakan kebolehan seorang wanita menjadi imam sholat bagi laki-laki dewasa di masjid besar dan pada sholat jum’ah ? Inilah salah satu contoh bagaimana sekelompok orang mengangkat dan membesar-besarkan “ suatu masalah “ yang nyleneh dan belum  jelas kebenarannya, untuk pembenaran atas pemikiran-pemikiran yang mereka usung dan mereka pasarkan. Ini adalah salah satu bentuk mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan yang menjadi ciri khas perbuatan orang-orang Yahudi, sebagaimana yang disinyalir dalam Al Qur’an :
“ dan janganlah engkau mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan engkau menutupi kebenaran tersebut, padahal engkau mengetahuinya “  ( Qs Al Baqarah :42 )
Bahkan para ulama- sebagaimana yang telah disebutkan di atas – menyatakan bahwa siapa saja yang sengaja mencari-cari pendapat nyleneh atau menelusuri    keringanan-keringanan dari pendapat ulama, maka dia akan menjadi zindiq atau mendekati zindiq.
Para ulama telah memberikan perumpamaan tergelincirnya seorang ulama bagaikan kapal yang bocor, jika kapal tersebut tenggelam, maka akan tenggelam semua penumpang di dalamnya.
Berkata Umar bin Khattab :
” Tiga hal yang akan merusak agama : tergelincirnya seorang ulama, debatnya orang munafik terhadap Al Qur’an, dan para pemimpin yang sesat . “ [13]

Berkata Ibnu Abbas :
” Celakalah bagi orang-orang yang mencari-cari tergelincirnya seorang ulama. ” Bagaimana itu bisa terjadi ? Berkata Ibnu Abbas : ” Yaitu seorang ulama berbicara menurut pikirannya ( tanpa ada dasarnya ), kemudian orang tersebut mendapatkan ulama lain yang lebih tahu darinya, dia tidak mau mengikutinya, dan tetap mengikuti sang alim yang tergelincir tadi “ [14]

Berkata Ibrahim bin Abi Ablah :
” Barang siapa yang suka membawa ilmu yang nyeleneh, maka berarti dia telah membawa kejelekan yang sangat banyak . “ [15]
Berkata Imam Malik :
” Sejelek-jelek ilmu adalah ilmu yang nyleneh, dan sebaik-baik ilmu adalah yang jelas dan yang telah diriwayatkan oleh banyak orang. “ [16]

Dari riwayat- riwayat di atas, kita mengetahui bahwa mengikuti pendapat yang  nyleneh dan aneh dari para ulama adalah perbuatan yang tercela dan dilarang dalam agama. Maka, hendaknya seorang muslim selalu mengikuti hal-hal yang sudah disepakati oleh para ulama  atau yang telah dianut oleh mayoritas, paling tidak mengikuti hal-hal yang sudah dikenal dikalangan para ulama.
Berkata Ibnu Hajar :  
إذا تكلم المرء في غير فنه أتى بهذه العجائب  

“ Kalau seseorang berbicara bukan pada bidangnya, niscaya akan bicara yang aneh-aneh “[17]

[1] . M . Quraish  Shihab, Jilbab pakaian wanita muslimah, hlm : 12-13
[2] M . Quraish  Shihab, Rasionalitas Al Qur’an, Studi Kritis atas tafsir Al Manar, ( Jakarta, Lentera Hati, 1996) Cet Ke – 1
[3] . M . Quraish  Shihab, Jilbab pakaian wanita muslimah, hlm : 117
[4] . M . Quraish  Shihab, Jilbab pakaian wanita muslimah, hlm : 12
[5] . M . Quraish  Shihab, Jilbab pakaian wanita muslimah, hlm : 4
[6] Salman Fahd Audah, Al Hiwar Al Hadi’ ma’a Muhammad Ghazali, ( Riyadh, Dar Al Hijrah, 1410 H  ) Cet ke – 3 ,  hal.9
[7] Prof.Dr. Sa’dudin As Sayid Muhammad Sholeh, Al Masuniyah fi Atswabiha al Mu’ashirah, ( Jeddah, Maktabah As Shohab, 1993) Cet- 1, hal. 9
[8] Muhammad bin Ahmad As Safarini, Ghidhau Al Albab Fi Syarh Mandhumat Al Adab, Muassasah Al Qurtubah, Juz I , hlm : 150
[9] Muhammad bin Ismail As Son’ani, Subul as Salam, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 3/219.
[10] . HR Abu Daud di dalam : ( Sunan Abu Daud, Kitab : Nikah, Bab : Seorang laki-laki melihat perempuan yang ingin dinikahinya, hadits no : 2082 ) Hadist ini dishohihkan oleh al Hakim dan para perawinya terpercaya dan dikuatkan dengan hadist riwayat Tirmidzi (Muhammad bin Ismail As Son’ani, Subul as Salam, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 3/219 )
[11] Muhammad Syamsu al Haq al Adhim Abadi, Aunu al ma’mud Syarh Sunan Abu Daud, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah  : 6/ 69
[12] Lihat umpamanya Al Mawardi di dalam Al Hawi Al Kabir, Juz II, hlm : 326.
[13] Atsar ini diriwayatkan oleh Darimi  di dalam As Sunan, Juz I , hal. 71
[14] Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Abdul Barr di dalam bukunya :  Jami’ Bayan Al Ilmi , no : 1877
[15] Ad Dzahabi, Siar A’lam Nubala‘ , Juz III, hal. 391
[16] Tartib Al Madarik , Juz I, hal. 184
[17] Muh Ismail Muqaddim, Op. Cit, hal. 48

No comments:

Post a Comment

Comments System

blogger/disqus/facebook