Selanjutnya Quraish Shihab menulis: “
Sebagai contoh, Nabi Muhammad saw suatu ketika shalat Zhuhur lalu langsung setelah itu melaksanakan shalat Ashar. Beliau menjamak atau bagaikan menjamak kedua shalat itu, padahal ketika itu beliau tidak dalam perjalanan (musafir), tidak juga karena adanya sebab-sebab jelas-yang selama ini dipahami sebagai alasan untuk menjamak shalat.” Kemudian Quraish melanjutkan
: “maka paling tidak, ia menunjukkan bolehnya menjamak shalat –sewaktu-waktu – walau bukan dalam keadaan musafir. Ini bila ada kebutuhan yang mendesak, sebagaimana yang dilakukan oleh sementara ulama. ” [1]
Hadits yang dimaksud oleh Quraish Shihab di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. yang menyebutkan :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ , وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ , مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ .
“Bahwa nabi Muhammad saw pernah menjamak antara dzhuhur dan Ashar, dan Maghrib dan Isya’ dalam keadaan tidak takut dan tidak pula sedang hujan ”
[2]
Para ulama dulu telah membahas hadits ini secara panjang lebar. Kesimpulannya bahwa hadits ini berlaku dalam keadaan sakit, atau berlaku bagi orang yang keadaannya sangat payah jika melakukan shalat lima waktu pada waktunya, seperti kakek atau nenek yang sudah tua renta serta sakit-sakitan. Atau dimungkinkan Rasulullah saw mengerjakan shalat-shalat tersebut pada waktunya, karena keadaan tertentu, maka yang satu dikerjakan pada akhir waktu sedang yang lain dikerjakan pada awal waktu, yang oleh orang yang melihatnya seakan-akan Rasulullah saw menjamak kedua shalat tersebut, padahal hakikatnya tidak demikian.
[1] . M . Quraish Shihab,
Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm. 12
[2] HR Muslim No Hadist: 706
Adapun menjamak shalat tanpa sebab, maka mayoritas ulama mengatakan tidak boleh. Memang ada segilintir orang — yang belum diketahui siapa mereka — yang membolehkan demikian. Dan ada segelintir lagi yang membolehkannya dalam keadaan tertentu itupun tidak boleh menjadi kebiasaan. Baiklah untuk meyakinkan pembaca, akan penulis sebutkan perkataan sebagian ulama tentang hukum menjamak shalat tanpa udzur.
Berkata Imam Nawawi :
” Madzhab para ulama tentang hukum menjamak shalat ketika dalam keadaan tidak takut, tidak pula sedang dalam bepergian , tidak pula dalam keadaan hujan dan tidak pula dalam keadaan sakit : untuk madzhab kita ( Syafi’i ) dan madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, serta mayoritas ulama hukumnya adalah tidak boleh. Sedang Ibnu Mundzir menceritakan dari beberapa kalangan akan kebolehannya walaupun tanpa sebab. Dia berkata juga bahwa Ibnu Sirrin membolehkan hal itu jika memang ada kebutuhan, dan tidak boleh menjadikan hal itu sebagai kebiasaan . “ [1]
Berkata Ibnu Qudamah :
” Dan tidak boleh menjamak shalat kecuali bagi yang telah kami sebutkan.Berkata Ibnu Syubrumah : Boleh menjamak shalat jika ada kebutuhan atau hal yang lain, selama itu tidak dijadikan suatu kebiasaan. Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ , وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ , مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ .
“Bahwa Nabi Muhammad saw pernah menjamak antara Zhuhur dan Ashar, dan Maghrib dan Isya’ dalam keadaan tidak takut dan tidak pula sedang hujan “
Ibnu Abbas ketika ditanya : Kenapa Rasulullah saw melakukan hal yang demikian ? Beliau menjawab : Supaya tidak menyusahkan umatnya. Sedang dalil kita adalah hadist-hadist yang menerangkan tentang waktu-waktu shalat yang lima itu. Sedang maksud hadist Ibnu Abbas di atas adalah ketika Rasulullah saw dalam keadaan sakit, dan berlaku bagi orang yang keadaannya sangat payah jika melakukan shalat lima waktu pada waktunya, seperti orang yang sedang menyusui, dan kakek yang sudah tua renta serta sakit-sakitan, dan orang-orang yang sejenis itu yang jika tidak menjamak shalat akan mendapatkan kepayahan yang amat sangat. Dan dimungkinkan Rasulullah saw – karena keadaan tertentu- mengerjakan shalat yang pertama pada akhir waktu, sedang untuk shalat yang kedua dikerjakan pada awal waktu . “ [2]
Dari keterangan di atas, kita bisa mengetahui bahwa Quraish Shihab ternyata memberikan contoh bahwa ajaran Islam itu mudah dengan hal-hal yang sifatnya syadz (nyleneh), padahal mayoritas ulama terdahulu dan kontemporer menjauhi hal tersebut, bahkan melarangnya. Dengan begitu, apakah kemudian akan kita katakan bahwa mayoritas ulama adalah orang-orang yang menutupi keindahan Islam, karena mereka melarang seorang muslim untuk menjamak shalat tanpa ada sebab?
[1] Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarhu al Muhadzab, ( Al Muniriyah ) Juz IV, hlm : 264
[2] Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Dar Ihya al Turast al Arabi ) Juz II , hlm : 60
|
No comments:
Post a Comment