Tuesday, May 8, 2012

Jilbab Kewajiban Muslimah ( XIII. Tidak Merujuk pada Referensi Primer )


Ketika memaparkan pendapat para ulama dari keempat madzhab, Quraish  Shihab tidak merujuk langsung kepada sumber aslinya, akan tetapi menukil dari buku kontemporer. Beliau menulis : ” …ada baiknya jika dikemukakan terlebih dahulu pendapat para ulama keempat madzhab populer menyangkut aurat. Dalam buku Al Fiqh Wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah  az –Zuhaili, persoalan aurat disimpulkan sebagai berikut : … “ [1]
Tulisan di atas menunjukkan bahwa Quraish Shihab, ketika menukil pendapat empat madzhab tidak merujuk kepada buku primer setiap madzhab yang empat tersebut.  Tetapi yang dilakukannya adalah merujuk langsung kepada buku salah seorang ulama kontemporer saja. Cara seperti ini tidak dibenarkan menurut metodologi ilmiah yang berlaku, khususnya di Universitas Al Azhar di mana Quraish  merupakan salah satu alumninya. Mudah-mudahan ini,  karena kesibukan beliau, sehingga tidak sempat untuk merujuk kepada buku-buku primer tersebut, atau mungkin karena konsentrasi beliau pada bidang tafsir, sehingga ketika menulis tentang hukum- hukum fiqh tidak terbiasa untuk merujuk kepada buku-buku madzhab. Oleh karenanya, sangat baik, kalau kita sebutkan di bawah ini pendapat para ulama keempat madzhab tentang batasan aurat dari buku primer masing-masing dari setiap madzhab.


[1] M . Quraish  Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah,  hal 109
 
Pertama : Madzhab Hanafi :
Disebutkan dalam Bahru ar-Raiq :
“  Dan badan perempuan semuanya aurat kecuali wajah, telapak tangan dan dua telapak kaki. Dalilnya adalah firman Allah :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“ Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak .”
Berkata Ibnu Abbas : “Yaitu kecuali wajah dan telapak tangannnya…dan karena  kebutuhan menuntut untuk membuka wajah untuk keperluan jual beli. Dan begitu juga diperlukan untuk membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi, makanya tidak dimasukkan aurat. Disebutkan telapak tangan bukan tangan, sebagaimana yang disebut dalam buku ” Al Muhit ” , karena hal itu menunjukkan bahwa  yang diboleh dibuka hanyalah  telapak tangan dalam, sedang telapak tangan luar adalah aurat , sebagaimana dalam dhahir riwayat. “
” …Berkata guru-guru kami : Perempuan yang masih muda dilarang untuk membuka wajahnya di depan laki-laki pada zaman kita saat ini, karena takut akan menimbulkan fitnah. Yang dilarang ini termasuk rambut yang berlebihan … “
” Pengarang buku mengecualikan telapak kaki, hal itu karena sangat menyulitkan khususnya bagi para perempuan-perempuan faqir. Dalam masalah ini masih diperselisihkan apakah ini benar riwayat dari Abu Hanifah dan para guru-guru. ….Tetapi dalam buku ” Syarh Al Muniyah ” dirajihkan bahwa kedua telapak kaki tersebut adalah tetap aurat secara mutlak, karena banyaknya hadist-hadist yang menyebutkan hal itu, diantaranya adalah apa yang diriwayatkan Abu Daud dan al Hakim dari Ummu Salamah bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah saw :
أَتُصَلِّي الْمَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا إزَارٌ فَقَالَ إذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا .
Apakah seorang perempuan boleh shalat dengan memakai baju dan kerudung, sedang dia tidak memakai sarung ? Maka Rasulullah saw menjawab : Jika baju tersebut panjang, maka akan menutup kedua telapak kakinya. ( HR Abu Daud dan Baihaqi dalam Sunan Kubra : 2/233,  Daruquthni :  2/62 , )”  [1]
Nukilan di atas secara tidak langsung, telah membantah apa yang ditulis oleh Quraish Shihab bahwa kaki wanita bukanlah aurat yang dia nisbatkan  sebagai pendapat Abu Hanifah. Quraish menulis : “Dalam satu riwayat  yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah dinyatakan bahwa menurutnya kaki wanita bukanlah aurat dengan alasan bahwa ini lebih menyulitkan dibandingkan dengan tangan, khususnya wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu) seringkali berjalan tanpa alas kaki untuk memenuhi kebutuhan mereka” [2].

Tulisan Quraish Shihab di atas mengandung beberapa kesalahan :
Pertama : Beliau menukil pendapat Abu Hanifah bukan dari buku madzhab Abu Hanifah, tetapi langsung mengambil dari buku kontemporer yaitu ” Tafsir Ayat Ahkam ” yang ditulis oleh Muhammad Ali As-Sais, sehingga terjadi banyak kejanggalan dan kesalahan.
Kedua : Beliau menyebutkan bahwa “ kaki wanita “ bukanlah aurat. Ini berarti bahwa semua bagian dari kaki wanita bukanlah aurat, termasuk paha dan betis wanita bukanlah aurat, karena termasuk bagian dari kaki. Pernyataan ini tentunya tidak bisa diterima oleh siapapun juga yang mengaku dirinya muslim. Walaupun mungkin bukan itu yang dimaksud oleh Quraish Shihab, tetapi ketidaktelitian beliau di dalam memilih kata-kata menyebabkan pemahaman yang rancu dan membingungkan. Mestinya beliau menulis “ telapak kaki wanita “ sebagai ganti dari “ kaki wanita “ .
Ketiga : Seandainya beliau telah mengakui kesalahannya dan memperbaiki tulisannya tersebut, yaitu dengan menulis “ telapak kaki wanita “, walaupun demikian, beliau masih terjebak dalam kesalahan berikutnya, yaitu bahwa yang benar dari riwayat Abu Hanifah bahwa telapak kakipun aurat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Nujaim salah seorang tokoh madzhab Hanafiyah. Ibnu Nujaim menulis :
“Tetapi dalam buku ” Syarh Al Muniyah ” dirajihkan bahwa kedua telapak kaki tersebut adalah tetap aurat secara mutlak, karena banyaknya hadist-hadist yang menyebutkan hal itu. “[3]
Madzhab Maliki :
Berkata Ibnu al Arabi Al Maliki dalam ” Ahkamul Qur’an ” :
” Adapun aurat perempuan adalah semua badannya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Dan di dalam buku-buku hadist disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
لا تُقْبَلُ صَلَاةُ حَائِضٍ إلَّا بِخِمَارٍ
” Tidak akan diterima shalat seorang wanita yang sudah haidh ( baligh ) kecuali dengan khimar ” ( HR Timidzi no 377 ) “
Dan ini adalah batasan aurat wanita merdeka, sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah saw
أَتُصَلِّي الْمَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا إزَارٌ فَقَالَ إذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا .
Apakah seorang perempuan boleh shalat dengan memakai baju dan kerudung, sedang dia tidak memakai sarung ? Maka Rosulullah saw menjawab : Jika baju tersebut panjang, maka akan menutup kedua telapak kakinya. ( HR Abu Daud, Baihaqi dalam Sunan Kubra : 2/233,  Daruqutni 2/62 , )” [4]
Berkata Ibnu Juzzai di dalam al Qawanin al Fiqhiyah :
“ Adapun wanita merdeka maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. “ [5]
Madzhab Syafi’i :
Berkata Imam Syafi’I – rahimahullah – di dalam ” Mukhtashor al Muzani “  :
” Bagi perempuan merdeka, hendaknya menutup auratnya dalam sholat sampai tidak kelihatan dari anggota tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. “ [6]
Berkata Imam al Mawardi di dalam bukunya “  al-Hawi al- Kabir ” :
” Untuk perempuan, seluruh badannya adalah aurat dalam sholat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya sampai akhir dari pergelangan tangannya… dalilnya  adalah firman Allah swt :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“ Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak .”
Berkata Ibnu Abbas r.a. : maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. “[7]
Di tempat yang lain beliau juga menulis :
” Adapun aurat ( perempuan ),maka di bagi mejadi dua : kecil dan besar. Adapun aurat yang besar yaitu seluruh badan ( perempuan ), kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. ” “[8]
Berkata Khotib Syarbini di dalam bukunya “ Mughni al Muhtaj “ :
“ Adapun aurat perempuan yang merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya luar dan dalam, dari ujung jari sampai pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“ Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak .”
Berkata Ibnu Abbas dan Aisyah r.a. : maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. “[9]
Madzhab Hambali :
Berkata Ibnu Quddamah di dalam kitab : «  Al Mughni «  :
” Tidak ada perselisihan di dalam madzhab ( Hambali ) bahwasanya dibolehkan bagi perempuan membuka wajahnya dalam sholat. Dan bahwasanya tidak dibolehkan baginya untuk membuka selain wajah dan kdua telapak tangannya ….Berkata sebagian dari ulama kita bahwa perempuan semua badannya adalah aurat, karena ada hadist diriwayatkan dari nabi Muhammad saw bahwasanya bliau bersabda :
المرأة عورة
” Perempuan itu semuanya aurat “ ( Hadist riwayat Tirmidzi, dan berkata : hadist ini adalah hadist hasan shohih ) “ [10]

Madzhab Dhahiriyah :
Berkata Ibnu Hazm  dalam «  Al Muhalla « :
” Adapun perempuan , sesungguhnya Allah berfirman : ” Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka «  sampai firman Allah swt : «  dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. ». Dan ini merupakan nash yang menunjukkan kewajiban untuk menutup aurat, leher dan dada. Dan di dalamnya terdapat nash yang menunjukkan kebolehan untuk membuka wajah . dan tidak mungkin ditafsirkan selain itu. Dan firman Allah : “ dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.. ” merupakan nash yang menunjukkan bahwa dua kaki dan betis merupakan sesuatu yang tersembunyi , dan tidak halal untuk ditampakkan. “ [11]

[1] Ibnu Nujaim, Bahru Ar Raiq Syarh Kanzu Al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al Islami ) Juz I , Hlm : 284-285 . Bisa dirujuk juga : Muhammad Al Babruty, ‘Inayah Syarhu Al Hidayah, ( Beirut , Dar Al Fikr )  Juz I , Hlm : 259 , Mula Al Hasru, Durar Al Hukkam Syar Ghurar Al Ahkam, ( Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah ) Juz I , Hlm : 59
[2] M . Quraish  Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah,  hal 48
[3] Ibnu Nujaim, Bahru Ar Raiq Syarh Kanzu Al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al Islami ) Juz I , Hlm : 284-285 .
[4] Ibnu al Arabi al Maliki, Ahkamul al Qur’an , ( Beirut, Dar Kutub Ilmiyah ) , Cet ke I, hal. 309-310
[5] Ibnu Juzzai, al Qawanin al Fiqhiyah, ( Kairo, Dar al Hadits, 2005 ) hal. 46
[6] Al Muzani, Mukhtashor al Muzani ‘ala al Umm, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1413-1993 ) Cet Ke – 1, hal : 19
[7] Al Mawardi, al Hawi al Kabir, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1414-1994 ) Juz II , hal : 167
[8] Al Mawardi, al Hawi al Kabir, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1414-1994 ) Juz II , hal :  170
[9] Muhammad Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1994 ) Juz I , hal : 397
[10] Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Beirut, Dar al Kitab al Araby, )  Juz I , hlm : 637
[11] Ibnu Hazm, Al Muhalla b ial Atsar, Beirut, Dar Al Fikr, juz II, hlm : 247

No comments:

Post a Comment

Comments System

blogger/disqus/facebook